Jhon Refra Kei atau yang biasa disebut
Jhon Kei, tokoh pemuda asal Maluku yang lekat dengan dunia kekerasan di
Ibukota. Namanya semakin berkibar ketika tokoh pemuda asal Maluku Utara
pula, Basri Sangaji meninggal dalam suatu pembunuhan sadis di hotel
Kebayoran Inn di Jakarta Selatan pada 12 Oktober 2004 lalu.
Padahal dua nama tokoh pemuda itu seperti
saling bersaing demi mendapatkan nama lebih besar. Dengan kematian
Basri, nama Jhon Key seperti tanpa saingan. Ia bersama kelompoknya
seperti momok menakutkan bagi warga di Jakarta.
Untuk diketahui, Jhon Kei merupakan
pimpinan dari sebuah himpunan para pemuda Ambon asal Pulau Kei di Maluku
Tenggara. Mereka berhimpun pasca-kerusuhan di Tual, Pulau Kei pada Mei
2000 lalu. Nama resmi himpunan pemuda itu Angkatan Muda Kei (AMKEI)
dengan Jhon Kei sebagai pimpinan. Ia bahkan mengklaim kalau anggota
AMKEI mencapai 12 ribu orang.
Lewat organisasi itu, Jhon mulai
mengelola bisnisnya sebagai debt collector alias penagih utang. Usaha
jasa penagihan utang semakin laris ketika kelompok penagih utang yang
lain, yang ditenggarai pimpinannya adalah Basri Sangaji tewas terbunuh.
Para ‘klien’ kelompok Basri Sangaji mengalihkan ordernya ke kelompok
Jhon Kei. Aroma menyengat yang timbul di belakang pembunuhan itu adalah
persaingan antara dua kelompok penagih utang.
Bahkan pertumpahan darah besar-besaran
hampir terjadi tatkala ratusan orang bersenjata parang, panah, pedang,
golok, celurit saling berhadapan di Jalan Ampera Jaksel persis di depan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal Maret 2005 lalu. Saat itu
sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa pembunuhan Basri Sangaji.
Beruntung 8 SSK Brimob Polda Metro Jaya bersenjata lengkap dapat
mencegah terjadinya bentrokan itu.
Sebenarnya pembunuhan terhadap Basri ini
bukan tanpa pangkal, konon pembunuhan ini bermula dari bentrokan antara
kelompok Basri dan kelompok Jhon Key di sebuah Diskotik Stadium di
kawasan Taman Sari Jakarta Barat pada 2 Maret 2004 lalu. Saat itu
kelompok Basri mendapat ‘order’ untuk menjaga diskotik itu. Namun
mendadak diserbu puluhan anak buah Jhon Kei Dalam aksi penyerbuan itu,
dua anak buah Basri yang menjadi petugas security di diskotik tersebut
tewas dan belasan terluka.
Polisi bertindak cepat, beberapa pelaku
pembunuhan ditangkap dan ditahan. Kasusnya disidangkan di Pengadilan
Negeri Jakarta Barat. Namun pada 8 Juni di tahun yang sama saat sidang
mendengarkan saksi-saksi yang dihadiri puluhan anggota kelompok Basri
dan Jhon Kei meletus bentrokan. Seorang anggota Jhon Kei yang bernama
Walterus Refra Kei alias Semmy Kei terbunuh di ruang pengadilan PN
Jakbar. Korban yang terbunuh itu justru kakak kandung Jhon Key, hal ini
menjadi salah satu faktor pembunuhan terhadap Basri, selain persaingan
bisnis juga ditunggangi dendam pribadi.
Pada Juni 2007 aparat Polsek Tebet Jaksel
juga pernah meminta keterangan Jhon Key menyusul bentrokan yang terjadi
di depan kantor DPD PDI Perjuangan Jalan Tebet Raya No.46 Jaksel.
Kabarnya bentrokan itu terkait penagihan utang yang dilakukan kelompok
Jhon Key terhadap salah seorang kader PDI Perjuangan di kantor itu.
Bukan itu saja, di tahun yang sama kelompok ini juga pernah mengamuk di
depan Diskotik Hailai Jakut hingga memecahkan kaca-kaca di sana tanpa
sebab yang jelas.
Sebuah sumber dari seseorang yang pernah
berkecimpung di kalangan jasa penagihan utang menyebutkan, Jhon Kei dan
kelompoknya meminta komisi 10 persen sampai 80 persen. Persentase
dilihat dari besaran tagihan dan lama waktu penunggakan. “Tapi setiap
kelompok biasanya mengambil komisi dari kedua hal itu,” ujar sumber
tersebut.
Dijelaskannya, kalau kelompok John,
Sangaji atau Hercules yang merupakan 3 Besar Debt Collector Ibukota
biasanya baru melayani tagihan di atas Rp 500 juta. Menurutnya, jauh
sebelum muncul dan merajalelanya ketiga kelompok itu, jasa penagihan
utang terbesar dan paling disegani adalah kelompok pimpinan mantan
gembong perampok Johny Sembiring, kelompoknya bubar saat Johny Sembiring
dibunuh sekelompok orang di persimpangan Matraman Jakarta Timur tahun
1996 lalu.
Kalau kelompok tiga besar itu biasa main
besar dengan tagihan di atas Rp 500 juta’an, di bawah itu biasanya
dialihkan ke kelompok yang lebih kecil. Persentase komisinya pun dilihat
dari lamanya waktu nunggak, semakin lama utang tak terbayar maka
semakin besar pula komisinya,” ungkap sumber itu lagi.Dibeberkannya,
kalau utang yang ditagih itu masih di bawah satu tahun maka komisinya
paling banter 20 persen. Tapi kalau utang yang ditagih sudah mencapai 10
tahun tak terbayar maka komisinya dapat mencapai 80 persen.
Bahkan menurut sumber tersebut, kelompok
penagih bisa menempatkan beberapa anggotanya secara menyamar hingga
berhari-hari bahkan berminggu-minggu atau berbulan-bulan di dekat rumah
orang yang ditagih. “Pokoknya perintahnya, dapatkan orang yang ditagih
itu dengan cara apa pun,” ujarnya.
Saat itulah kekerasan kerap muncul ketika
orang yang dicari-carinya apalagi dalam waktu yang lama didapatkannya
namun orang itu tak bersedia membayar utangnya dengan berbagai dalih.
“Dengan cara apa pun orang itu dipaksa membayar, kalau perlu culik
anggota keluarganya dan menyita semua hartanya,” lontarnya.
Dilanjutkannya, ketika penagihan berhasil
walaupun dengan cara diecer alias dicicil, maka saat itu juga komisi
diperoleh kelompok penagih. “Misalnya total tagihan Rp 1 miliar dengan
perjanjian komisi 50 persen, tapi dalam pertemuan pertama si tertagih
baru dapat membayar Rp 100 juta, maka kelompok penagih langsung
mengambil komisinya Rp 50 juta dan sisanya baru diserahkan kepada
pemberi kuasa. Begitu seterusnya sampai lunas. Akhirnya walaupun si
tertagih tak dapat melunasi maka kelompok penagih sudah memperoleh
komisinya dari pembayaran-pembayaran sebelumnya,”
Dalam ‘dunia persilatan’ Ibukota,
khususnya dalam bisnis debt collector ini, kekerasan kerap muncul
diantara sesama kelompok penagih utang. Ia mencontohkan pernah terjadi
bentrokan berdarah di kawasan Jalan Kemang IV Jaksel pada pertengahan
Mei 2002 silam, dimana kelompok Basri Sangaji saat itu sedang menagih
seorang pengusaha di rumahnya di kawasan Kemang itu, mendadak sang
pengusaha itu menghubungi Hercules yang biasa ‘dipakainya’ untuk menagih
utang pula.
“Hercules sempat ditembak beberapa kali,
tapi dia hanya luka-luka saja dan bibirnya terluka karena terserempet
peluru. Dia sempat menjalani perawatan cukup lama di sebuah rumah sakit
di kawasan Kebon Jeruk Jakbar. Beberapa anak buah Hercules juga terluka,
tapi dari kelompok Basri seorang anak buahnya terbunuh dan beberapa
juga terluka,” tutupnya.
Selain jasa penagihan utang, kelompok
Jhon Kei juga bergerak di bidang jasa pengawalan lahan dan tempat.
Kelompok Jhon Kei semakin mendapatkan banyak ‘klien’ tatkala Basri
Sangaji tewas terbunuh dan anggota keloompoknya tercerai berai. Padahal
Basri Sangaji bersama kelompoknya memiliki nama besar pula dimana Basri
CS pernah dipercaya terpidana kasus pembobol Bank BNI, Adrian Waworunto
untuk menarik aset-asetnya. Tersiar kabar, Jamal Sangaji yang masih adik
sepupu Basri yang jari-jari tangannya tertebas senjata tajam dalam
peristiwa pembunuhan Basri menggantikan posisi Basri sebagai pimpinan
dengan dibantu adiknya Ongen Sangaji.
Kelompok Jhon Kei pernah mendapat ‘order’
untuk menjaga lahan kosong di kawasan perumahan Permata Buana,
Kembangan Jakarta Barat. Namun dalam menjalankan ‘tugas’ kelompok ini
pernah mendapat serbuan dari kelompok Pendekar Banten yang merupakan
bagian dari Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia
(PPPSBBI).
Sekedar diketahui, markas dan wilayah
kerja mereka sebetulnya di Serang dan areal Provinsi Banten. Kepergian
ratusan pendekar Banten itu ke Jakarta untuk menyerbu kelompok Jhon Kei
pada 29 Mei 2005 ternyata di luar pengetahuan induk organisasinya.
Kelompok penyerbu itu pun belum mengenal seluk-beluk Ibukota.
Akibatnya, seorang anggota Pendekar
Banten bernama Jauhari tewas terbunuh dalam bentrokan itu. Selain itu
sembilan anggota Pendekar Banten terluka dan 13 mobil dirusak. 3 SSK
Brimob PMJ dibantu aparat Polres Jakarta Barat berhasil mengusir kedua
kelompok yang bertikai dari areal lahan seluas 5.500 meter persegi di
Perum Permata Buana Blok L/4, Kembangan Utara Jakbar. Namun buntut dari
kasus ini, Jhon Kei hanya dimintakan keterangannya saja.
Sebuah sumber dari kalangan ini
mengatakan kelompok penjaga lahan seperti kelompok Jhon Kei biasanya
menempatkan anggotanya di lahan yang dipersengketakan. Besarnya honor
disesuaikan dengan luasnya lahan, siapa pemiliknya, dan siapa lawan yang
akan dihadapinya
“Semakin kuat lawan itu, semakin besar
pula biaya pengamanannya. Kisaran nominal upahnya, bisa mencapai
milyaran rupiah. Perjanjian honor atau upah dibuat antara pemilik lahan
atau pihak yang mengklaim lahan itu milikya dengan pihak pengaman.
Perjanjian itu bisa termasuk ongkos operasi sehari-hari bisa juga
diluarnya, misalnya untuk sebuah lahan sengketa diperlukan 50 orang
penjaga maka untuk logistik diperlukan Rp 100 ribu per orang per hari,
maka harus disediakan Rp 5 juta/hari atau langsung Rp 150 juta untuk
sebulan.
Selain pengamanan lahan sengketa, ada
pula pengamanan asset yang diincar pihak lain maupun menjaga lokasi
hiburan malam dari ancaman pengunjung yang membikin onar maupun ancaman
pemerasan dengan dalih ‘jasa pengamanan’ oleh kelompok lain, walau
begitu tapi tetap saja mekanisme kerja dan pembayarannya sama dengan
pengamanan lahan sengketa.
Anda sedang membaca artikel tentang Siapakah Sosok Jhon Kei Sebenarnya? dan Anda bisa menemukan artikel Siapakah Sosok Jhon Kei Sebenarnya? ini dengan url https://gratisan69.blogspot.com/2012/02/siapakah-sosok-jhon-kei-sebenarnya.html. Anda boleh menyebarluaskan atau mengcopy artikel Siapakah Sosok Jhon Kei Sebenarnya? ini jika memang bermanfaat bagi Anda atau teman-teman Anda, namun jangan lupa untuk mencantumkan link sumbernya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar